A. Pendahuluan
Secara
umum, bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran. Hal ini sejalan dengan
fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Dalam sosiolinguistik,
bahasa sebagai alat menyampaikan pesan itu dianggap terlalu sempit. Perlu
adanya pemahaman faktor di luar bahasa yang akan mendukung dipahaminya pesan
yang disampaikan. Faktor di luar bahasa itu antara lain status sosial, tingkat
pendidikan, umur, jenis kelamin, dan lain-lain. Selain itu ada juga faktor lain
yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan
masalah apa yang dibicarakan. Tetapi, hal yang paling utama yang mempengaruhi
sebuah penyampaian pesan adalah faktor budaya.
Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Hal ini tercermin dari banyaknya
suku-suku di Indonesia yang secara tidak langsung telah saling berinteraksi
bahkan hidup berdampingan bahkan dengan berbagai orang dari luar. Pergaulan
antara orang-orang yang berbeda latar belakang cenderung menyebabkan terjadinya
miskomunikasi. Hal ini yang menjadi masalah penting dalam tulisan ini khususnya
dalam percakapan sehari-hari antar mahasiswa pascasarjana S2 linguistik
deskriptif angkatan 2010.
B. Konsep Kontekstualisasi dan Komunikasi
1.
Kontekstualisasi
Sosiolinguistik
sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam
hubungannya dengan pemakai bahasa dalam masyarakat, karena dalam kehidupan
bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai
masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia
dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya
(Wijana dan Rohmadi, 2006:7).
Menurut
Gumperz (1980), keragaman bahasa lebih dari sebuah fakta perilaku yang
berfungsi sebagai sumber komunikatif dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut,
menurut Gumperz, isyarat kontekstualisasi adalah setiap fitur yang memberikan
kontribusi terhadap pemberian sinyal dari presuposisi (perkiraan) kontekstual.
Jadi
disimpulkan bahwa kontekstualisasi
berkaitan dengan situasi dan kondisi di sekitar yang didukung oleh fitur-fitur
yang memberikan kontribusi dalam bertutur.
2.
Komunikasi
Menurut
Chaer dan Agustina (2004:17), komunikasi memiliki tiga komponen yang harus ada
dalam setiap proses komunikasi yaitu (1) pihak yang berkomunikasi yaitu
pengirim dan penerima informasi yang dikomunikasikan, yang lazim disebut
partisipan; (2) informasi yang dikomunikasikan, dan (3) alat yang digunakan
dalam komunikasi. Suatu komunikasi memang sering tidak tidak berjalan mulus
karena adanya gangguan hambatan. Tiadanya kesadaran dari salah satu pihak
partisipan merupakan sebuah hambatan. Gangguan atau hambatan lain misalnya data
pendengaran yang kurang baik, suara bising di tempat komunikasi berlangsung,
atau juga penggunaan bahasa yang kurang baik.
Pendapat
lain dari Sutopo (1983:13), menyatakan bahwa komunikasi yang efektif apabila
antara komunikator dan komunikan menciptakan sistem lambang komunikasi supaya
dapat diperoleh tafsir yang sama. Apabila pesan yang dikirim telah sesuai
dengan penerimaan maka terjadilah komunikasi.
Jadi,
dari beberapa konsep ini disimpulkan bahwa komunikasi
adalah proses penyampaian pesan dengan menggunakan bahasa (verbal dan
nonverbal) yang terjadi dalam sebuah konteks.
C.
Pembahasan
Bahasa
adalah alat komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan. Selain itu pula
seperti dikatakan sebelumnya bahwa komunikasi akan tercapai apabila pemahaman
tentang konteks lebih diutamakan. Namun, dalam kenyataannya seringkali terjadi
miskomunikasi yang tidak bisa dihindari karena situasi.
Contoh
berikut adalah fenomena miskomunikasi yang sering terjadi dalam peristiwa
tuturan.
1. Seorang
mahasiswa sedang membaca dengan serius yang terusik dengan kedatangan temannya.
A : hai mba.... uda
makan?
B : malas..
A : saya uda makan
tadi, sekalian biar gak turun lagi.
B : oh.... (matanya
kembali terpaku ke buku, tanpa memperhatikan muka si A)
A : (dengan sedikit
kesal mengambil buku dan ikut membaca)
Pada
percakapan di atas, si A bermaksud menyapa dengan itikad baik dan penuh
perhatian namun si B malah cuek dan asyik dengan bacaannya. Hubungan antara si
A dan si B memang telah akrab tetapi dalam situasi ini, harusnya si A bisa
memahami bahwa si B sedang serius membaca yang otomatis membuat dirinya
disepelekan. Jawaban si B yang mengatakan “malas” dan “oh....” menandakan bahwa
si B tidak ingin diganggu karena ingin fokus sedangkan si B menginginkan
percakapan yang lebih lengkap dan mendalam. Faktor lain yang membuat si A kesal
adalah jawaban “malas.”, yang menurutnya kasar. Si A adalah orang Jawa,
sedangkan si B adalah non-Jawa. Si A seharusnya memahami bahwa si B pasti tidak
akan sehalus dirinya.
Berikut ini adalah
contoh yang menggambarkan prasangka yang buruk karena pemahaman situasi yang
kurang.
2. Seorang mahasiswa asing yang belum
terlalu mahir berbahasa Indonesia tiba di kelas.
C : (datang dengan
senyum-senyum)
D : (berkata dengan
cepat) Uda ngerja tugas blum?
C : (senyum)
D : home work!
C : belum. (berjalan
keluar)
D : orang aneh!
Dari
percakapan antara si C dan D, nampak tidak komunikatif. Maksud si D kurang
dipahami oleh si C, yang menyebabkan si D mengatakan “orang aneh” dengan kesal.
Si C datang dengan hanya bahasa isyarat “(senyum-senyum)” dan “(senyum)”
menandakan bahwa dia belum terlalu menguasai bahasa Indonesia. Si D harusnya
menyadari bahwa bicaranya terlalu cepat sehingga apa yang ditanyakannya bisa
dipahami si C yang membutuhkan perkataan yang jelas, pelan, dan lengkap.
Ternyata, si C lebih memahami bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia, apalagi
jika bahasa Indonesia terlalu cepat, menyebabkan si C tidak memahami maksud.
Fenomena
lain dari contoh ini adalah adanya peristiwa alih kode. Peristiwa alih
kode ini dalam konteks akan mendukung
komunikasi yang komunikatif. Perbedaan kemampuan komunikatif antara C dan D
akan berpengaruh dalam komunikasi.
Berikut ini adalah
contoh percakapan yang harusnya dijawab, tetapi masalah memberikan pertanyaan
baru. Selain itu juga, nampak ketidaksinkronan dalam percakapan.
3. Seorang mahasiswa datang dengan
tergesa-gesa menghampiri dua orang temannya yang sedang bercakap.
E : bapak belum datang
yah?
F : bukunya mana mba?
E : ya ampun... lupa!
(memegang dahi)
Sori, besok aja yah soalnya tadi ku
cepat-cepat.
G : (tertawa
terbahak-bahak sambil menutup mulutnya)
F : ya ampun!
(mengulang kata si E, sambil menatap temannya)
E : dasar nih! (sambil
ikutan tersenyum)
Dari petikan di atas,
nampak hubungan si E, F, dan G telah akrab dan memiliki usia yang hampir sama.
Walaupun nampaknya antara satu tuturan dengan yang lain tidak sinkron tetapi
secara konteks, pemahaman konteks antara si E, F, dan G menyebabkan tidak
terjadinya konflik. Si E bertanya “bapak belum datang yah?”, tidak dijawab oleh
F dan G. Malah si F bertanya tentang buku yang dipinjam si E. si E memberikan
alasan bahwa dia lupa membawa bukunya, tetapi si F malah mengulang katanya “ya
ampun!” yang mengindikasikan bahwa dia merasa lucu melihat jawaban si E. Begitu
pula si G, malah tertawa terbahak-bahak. Hal yang paling mendasar adalah si E
benar-benar memahami konteks sehingga tidak tersinggung dengan jawaban dan
tingkah F dan G.
Hal ini berbeda dengan
percakapan berikut, yang menyebabkan terjadinya salah tafsir karena faktor
linguistik dan situasi yang bisa mengarah ke diskomunikasi.
4. 3 orang mahasiswa sedang berbicara
dengan sedikit berbisik karena sedang mengikuti kuliah. 2 orang adalah
mahasiswa Indonesia dengan suku yang berlainan, yang satunya adalah seorang
mahasiswa asing. Mereka sedang mengikuti kuliah yang agak membosankan.
H : Bapakmu kerja
dimana?
I : apa? (kelihatan bingung)
H : where is your
father work?
I : Vice Director in
High School. (dengan suara pelan sesuai gayanya)
H : oh....
J : dia bilang apa?
H : dia bilang bapaknya
Rektor!
J : enak benar yah
dia.
Dari
kutipan di atas, terjadi miskomunikasi yang tarafnya agak fatal yang bisa
mengarah ke diskomunikasi. Situasi kuliah yang agak menjenuhkan menyebabkan
ketiga mahasiswa itu berbisik-bisik sambil sekali-kali melihat ke depan kelas.
Si H bertanya “Bapakmu kerja dimana?” si I yang kurang memiliki kemampuan
linguistik yang cukup ditambah dengan situasi kuliah yang menyebabkan
perhatiannya terbagi. Selain itu juga, tanggapan asal-asalan dari si H yang
disebabkan oleh situasi menyebabkan pesan yang akan disampaikan ke orang
berikutnya menjadi salah. Sehingga si J pun menanggapi salah. Dalam peristiwa
ini juga, terjadi alih kode dari bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris yang tidak
sengaja dilakukan I. Si I adalah seorang mahasiswa asing yang baru mempelajari
bahasa Indonesia, sehingga pada saat ia kesulitan mencari kata dalam bahasa
Indonesia, ia akan mencari dalam bahasa asing yang menurutnya bisa dipahami
oleh lawan tuturnya.
Peristiwa
di atas juga, tergambar bahwa penyampaian pesan tidak efektif. Bukan hanya
karena faktor linguistik tetapi situasi. Seharusnya si H menanyakan lagi ke I
dengan jelas, baru menyampaikan lagi ke J. Peristiwa ini bisa mengarah ke
diskomunikasi.
Situasi
sedang mengikuti kuliah, si L sedang menyimak kuliah dengan serius. Sedangkan
si K agaknya bosan karena terlalu tertekan dengan tugas yang menumpuk.
5. K : (sambil berbisik dengan mata tertuju
ke dosen yang mengajar) kita nyari buku yuk!
L : kenapa?
K : untuk tugas
makalah tuh, referensinya kurang!
L : maksudnya apa?
(agak bingung)
K : besok, kita bareng
ke toko buku, kamu mau gak?
L : ia, aku mau.
K : besok jam 12 ku
jemput yah?
Pada penggalan ini, si
K membuka percakapan dengan “kita nyari buku yuk!”. Si L lebih terfokus pada
kuliah sehingga tidak mendengar apa yang di katakan si K. Si K berpikir bahwa L
tidak mengerti maksudnya sehingga dia menjelaskan lagi “untuk tugas makalah
tuh, referensinya kurang!”. Si L malah
semakin bingung, karena tidak mengerti apa yang dibicarakan sebelumnya.
Akhirnya si K menjelaskan ulang, barulah si L mengerti.
Dari berbagai contoh
di atas, komunikasi verbal yang terjadi juga didukung oleh komunikasi non
verbal (gerak-gerik, mimik, dll). Komunikasi yang efektif selalu didukung oleh
isyarat nonverbal yang baik. Sehingga penyampaian pesan dan maksud lebih
dipahami. Dari berbagai contoh sebelumnya, terjadi peristiwa alih kode yang
mendukung pemahaman pesan. Bukan hanya alih kode, mungkin saja akan terjadi
campur kode dalam berbagai komunikasi selanjutnya.
D.
Kesimpulan
Dari pembahasan
sebelumnya, disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.
Miskomunikasi
secara tidak langsung akan terjadi dalam interaksi antara orang-orang yang
memiliki latar belakang yang berbeda.
2.
Pada
contoh 1, perbedaan budaya dalam hal ini suku berperan penting. Masalah halus
dan kasarnya sebuah tuturan ini menyebabkan munculnya kekesalan pada diri
seseorang.
3.
Pada
contoh 2, penguasaan kemampuan kebahasaan yang berbeda menyebabkan maksudyang
disampaikan kurang dipahami. Sehingga, terjadi peristiwa alih kode yang secara
kontekstual membantu seseorang memahami maksud percakapan.
4.
Pada
contoh 3, komunikasi yang terjadi berjalan lancar tanpa ada konflik meskipun hal
yang ditanyakan tidak mendapatkan respon. Faktor usia dan keakraban menyebabkan
terjadinya saling menghargai dan memahami perbedaan budaya.
5.
Pada
contoh 4, terjadi miskomunikasi yang parah yang mengarah ke diskomunikasi.
Selain itu, factor peserta yang kurang memperhatikan isi pesan yang disampaikan
menyebabkan terjadinya penafsiran yang keliru.
6.
Pada
contoh 5, peserta percakapan tidak memahami pesan karena dengan terpaksa
terlibat dalam percakapan. Sehingga, pesan yang ingin disampaikan perlu diulang
dengan jelas barulah dipahami isinya.
7.
Komunikasi
yang efektif terjadi atas kerja sama antara peserta percakapan serta pemahaman
konteks lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Aslinda
& Syafyahya. 2010. Pengantar Soiolinguistik. Bandung : PT. Refika
Aditama.
Chaer
& Agustina. 2004. Sosiolinguistik
: Perkenalan Awal. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Fishman,
Joshua A. 1972. The Sosiology of Language. Massachusetts : Newbury House
Publishers.
Hymes,
Dell. 1989. Foundations In Sociolinguistics : An Ethnographic Approach.
Philadelphia : University of Pennsylvania Press.
Rahardi,
Kunjana. 2010. Kajian Sosiolinguistik : Ihwal Kode dan Alih Kode. Bogor
: Ghalia Indonesia.
Sumarsono.
2009. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suwito.
1983. Sosiolinguistik : Teori dan Problema. Surakarta : Fakultas Sastra
Universitas Sebelas Maret.
Wijana
dan Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik : Kajian Teori dan Analisis.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Zamzani.
2007. Kajian Sosiopragmatik. Yogyakarta : Cipta Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar