Selasa, 04 Oktober 2016

Potret Realitas Bahasa-Bahasa Daerah Di Papua

Bagaimana Cara Pemertahanan Bahasa-bahasa di Tanah Papua
oleh : Grace J.M. Mantiri

Papua memiliki kondisi spesial dalam keberagaman bahasa. Menurut beberapa penelitian terakhir, jumlah bahasa di Papua berkisar 247-300-an bahasa yang dibarengi pula oleh keragaman etinis dan budayanya. Kondisi sekarang bukanlah karena banyaknya bahasa yang lahir di wilayah tersebut, melainkan terpinggirnya banyak bahasa yang penuturnya sedikit, yang juga didukung oleh banyak faktor. Secara sosiokultural, Papua adalah miniatur Indonesia. Keragaman etnis dan bahasanya dapat merefleksikan nilai-nilai multikultural yang tumbuh dan berkembang di daerah ini. Kondisi keragaman bukanlah penghalang kemajuan, melainkan sebuah pemacu semangat memajukan perkembangan masyarakatnya. Memang, isu-isu sosiolinguistik seperti bahasa mayoritas dengan penutur terbanyak, bahasa minoritas untuk bahasa-bahasa yang penuturnya sedikit sering disisipi faktor-faktor ideologis memunculkan perilaku-perilaku yang dapat mencederai budaya dan bahasa yang ada. Walaupun demikian, secara natural bahasa akan terus bertahan ataupun punah. Terus bertahan apabila digunakan dan didokumentasikan, sedangkan akan punah apabila ditinggalkan dan dilupakan penuturnya. Tak ada yang bertahan lama. Itulah yang selalu diserukan oleh ahli-ahli filsafat zaman purbakala. Namun, bahasa yang secara alami selalu bersifat dinamis akan bergantung pada tiga faktor yaitu penuturnya, pembuat kebijakan, dan pemerhati bahasa. Dari sini penutur, bahasa yang penuturnya masih banyak dan bahasa tersebut masih digunakan oleh penuturnya akan membuat bahasa itu tetap lestari, sedangkan bahasa yang tidak digunakan lagi oleh penuturnya lama kelamaan akan ditinggalkan dan punah. Dari segi pembuat kebijakan, bahasa daerah yang mendapat dukungan secara politis dapat bertahan di tengah-tengah perkembangan informasi dan teknologi, sedangkan bahasa yang tidak mendapat dukungan politis dapat punah karena tidak memiliki peraturan yang melindunginya. Dari segi pemerhati bahasa, perlu adanya kajian yang mendalam dan terus-menerus terhadap bahasa-bahasa daerah di Papua agar semua bahasa dapat didokumentasikan. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dapat menjadi perisai yang melindungi keragaman bahasa daerah di Papua. Selain itu, perlunya dukungan masyarakat pemilik bahasa, pihak pemerhati bahasa, dan pembuat kebijakan. Dukungan tersebut perlu dilakukan terus-menerus demi kebertahanan dan kelestarian bahasa-bahasa di wilayah ini. Stereotip negatif dan faktor-faktor pemicu kepunahan bahasa perlu diminimalisir oleh semua pihak. Terlebih lagi pemertahanan budaya setiap etnis perlu terus digalakkan. Budaya adalah panggung bertahannya bahasa. Dengan demikian, pemertahanan budaya secara tidak langsung juga merupakan usaha pemertahanan bahasa.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Gangguan Berbahasa

Gangguan berbahasa secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu gangguan akibat faktor medis dan gangguan akibat faktor lingkungan. Gangguan dengan faktor medis adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang wajar. Gangguan berbahasa secara medis dibedakan atas tiga golongan yaitu gangguan berbicara, gangguan berbahasa, dan gangguan berpikir. Gangguan berbicara dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu gangguan mekanisme berbicara  yang berimplikasi pada gangguan organis, gangguan akibat multifaktorial, dan gangguan berbicara psikogenik. Gangguan mekanisme berbicara dibagi empat yaitu gangguan akibat faktor pulmonal, gangguan akibat faktor laringal, gangguan akibat faktor lingual, dan gangguan akibat faktor resonansi. Gangguan akibat multifaktorial dibagi tiga yaitu berbicara serampangan, berbicara propulsif, dan berbicara mutis. Gangguan psikogenik antara lain : berbicara manja, berbicara kemayu, berbicara gagap, dan berbicara latah.
Gangguan berbahasa dipengaruhi oleh kemampuan mengeluarkan kata-kata, yang berarti bahwa daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi baik. Kerusakan pada area tersebut menyebabkan terjadinya afasia. Afasia dibagi dua yaitu afasia ekspresi atau afasia motorik dan afasia reseptif atau sensorik. Afasia motorik terbagi tiga yaitu afasia motorik kortikal, afasia motorik subkortikal, dan afasia transkortikal. Afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Penderita afasia ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan tulis. Namun, masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami dirinya maupun oleh orang lain. Gangguan berpikir adalah ekspresi verbal yang terganggu karena disebabkan oleh pikiran yang terganggu. Jenis-jenis gangguan berpikir antara lain : pikun (demensia), sisofrenik, dan depresif. Gangguan lingkungan sosial adalah terasingnya seorang anak manusia yang aspek biologis bahasanya lengkap dan normal dari lingkungan kehidupan manusia. Dua contoh kasus karena lingkungan sosial adalah kasus Kamala dan Genie.