Selasa, 03 November 2015

Liku-liku Hubungan Studi Fonetik dan Fonemik



Fonologi adalah cabang dari ilmu bahasa (linguistik) yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya. Fonologi dibagi atas dua bagian yaitu Fonetik dan Fonemik. Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia. Fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai pembeda arti.

FONETIK
Di bawah payung Fonologi, terdapat dua cabang ilmu yang masing-masingnya merupakan kajian berbeda. Yang satu bernama fonetik dan yang satu lagi bernama fonemik. Secara sekilas, istilah ini memang mirip sehingga sering dirancukan penggunaannya oleh orang awam tetapi bagi linguis, kedua ilmu ini adalah dua ilmu yang berbeda sehingga perlu dipahami betul-betul pengertian dan cakupannya agar tidak terjadi salah kaprah. Fonetik meneliti dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa, yang  dilihat dari dua segi yaitu segi alat-alat bicara serta penggunaannya dalam menghasilkan bunyi-bunyi bahasa (fonetik organis); dan sifat-sifat akustik bunyi yang dihasilkan (fonetik artikulatoris). Fonetik organis menyangkut alat-alat bicara, sedangkan fonetik artikulatoris menyangkut pengartikulasian bunyi-bunyi bahasa yang lebih dikenal dengan nama gonetik akustik. Sebagian besar fonetik akustik berdasarkan pada ilmu fisika (tentang bunyi), yang diterapkan kepada bunyi-bunyi bahasa.
Fonetik adalah ilmu yang mempelajari produksi bunyi bahasa. Ilmu ini berangkat dari teori fisika dasar yang mendeskripsikan bahwa bunyi pada hakikatnya adalah gejala yang timbul akibat adanya benda yang bergetar dan menggetarkan udara di sekelilingnya. Oleh karena bunyi bahasa juga merupakan bunyi, bunyi bahasa tentunya diciptakan dari adanya getaran suatu benda yang menyebabkan udara ikut bergetar. Perbedaan antara bunyi bahasa dengan bunyi lainnya menurut fonetik adalah bunyi bahasa tercipta atas getaran alat-alat ucap manusia sedangkan bunyi biasa tercipta dari getaran benda-benda selain alat ucap manusia. Namun demikian, pada dasarnya deskripsi bunyi bahasa fonetik ini masih kurang lengkap sehingga akan dilengkapi oleh deskripsi bunyi bahasa menurut fonemik.
Dalam fonetik, bunyi bahasa dianggap setara dengan bunyi, yaitu sebuah gejala fisika yang dapat diamati proses produksinya. Fonetik memang berorientasi dalam deskripsi produksi bunyi bahasa serta cara-cara yang dapat mengubah bunyi bahasa itu dalam produksinya. Oleh karena itu, fonetik bertugas mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa yang terdapat di dalam suatu bahasa. Salah satu contoh konkretnya adalah identifikasi bunyi-bunyi kontoid dan vokoid dalam suatu bahasa.

FONEMIK
Fonemik sendiri adalah ilmu yang mempelajari fungsi bunyi bahasa sebagai pembeda makna. Pada dasarnya, setiap kata atau kalimat yang diucapkan manusia itu berupa runtutan bunyi bahasa. Pengubahan suatu bunyi dalam deretan itu dapat mengakibatkan perubahan makna. Perubahan makna yang dimaksud bisa berganti makna atau kehilangan makna. Contoh:
b
a
b
i
‘binatang berkaki empat’
p
a
p
i
sebutan lain untuk ayah
Pada contoh di atas, kata babi memiliki dua konsonan [b] yang menjadi awal suku kata pertama dan kedua sedangkan kata papi memiliki konsonan [p] sebagai awal suku kata pertama dan keduanya. Selain kedua bunyi itu, bunyi lainnya dan posisi/urutan bunyi lain itu sama. Perbedaan bunyi [b] dan [p] pada posisi/urutan yang sama dapat mengubah makna kata, inilah yang dikaji oleh fonemik.
Ada trik lain untuk mengenali suatu kajian merupakan fonetik atau fonemik, yaitu melalui istilah yang digunakan untuk menyebut bunyi bahasa. Fonetisi, para ahli fonetis, cenderung menggunakan istilah fon untuk satuan bunyi bahasa dan nama vokoid-kontoid-semivokoid untuk kategori fon. Untuk fonemik, para ahli menggunakan istilah fonem dan vokal-konsonan-semivokal. Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.

Daftar Kepustakaan
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.








Konteks dalam Pragmatik



A.  Pendahuluan
Pragmatik tidak dapat dipisahkan dari konteks. Konteks dan pragmatik ibarat ikan dengan air. Ikan tidak dapat hidup tanpa air, sebaliknya fungsi air tidak terlalu sempurna jika tidak ada ikan-ikan berenang dan hidup di dalamnnya. Itu berarti jika yang dibicarakan adalah pragmatik mau tak mau harus diicarakan pula konteks atau sebaliknya. Pada dasarnya seorang peneliti bahasa dapat mengkaji bahasa dari bentuknya saja. Misalnya, ia meneliti sebuah bahasa dari segi fonologinya saja; atau dari segi morfologi, sintaksis, dan semantiknya; atau keempat aspek tersebut diteliti semua. Hasil penelitian itu hanyalah berupa bentuk gramatikalnya. Jika penelitian itu diterapkan dalam penggunaan bahasa sehari-hari, penjelasan atau pendeskripsian kurang memadai seperti contoh berikut ini.
(1)   Ibu   : Airnya sudah masak, Mbak?
Anak            : Kopi atau teh Bu?
(2)   Ali dimainkan bola
Contoh pada tuturan (1) di atas jika diteliti dari bentuk saja, hasilnya menjadi kurang jelas atau taksa. Ketaksaan ini terjadi karena tuturan anak seharusnya berupa jawaban, namun yang muncul adalah pertanyaan. Jawaban yang seharunya dikatakan si anak misalnya Ya Bu, kompornya saya matikan. Contoh tuturan (2), Ali sebagai subjek kalimat tidak seharunya dimainkan bola. Kalimat yang benar untuk memperbaiki itu adalah bola dimainkan oleh Ali. Dari kedua contoh ini, pemakaian bahasa sehari-hari sangat dipengaruhi oleh konteks. Dengan demikian konteks akan mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh penutur.
Konteks mulai berkembang pada tahun-tahun 1970-an. Para linguis mulai menyadari pentingnya konteks dalam menafsirkan kalimat. Untuk mengenal konteks ada baiknya terlebih kita mulai dengan batasan pragmatik. Hal ini dianggap perlu karena memang pragmatik itu tak dapat dipisahkan dengan konteks. Selain itu juga, konteks sangat mempengaruhi bentuk bahasa yang digunakan oleh penutur.
Batasan defenisi pragmatik yang pertama menurut Levinson (1983:21) yang menyatakan bahwa Pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding.‘Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks sebagai dasar pertimbangan untuk memahami bahasa.’ Dari batasan di atas jelas sekali bahwa pragmatik itu memang harus mengkaji bahasa dan konteks secara bersamaan (tidak dapat dipisahkan), untuk memahami makna secara utuh. Kalau ada pertanyaan ‘bagaimana jika dalam kajian pragmatik itu, konteks diabaikan saja?’ Jawabnya tentu tidak boleh, karena kalau itu dilakukan, berarti kajian tersebut sudah tidak dapat lagi disebut kajian pragmatik, melainkan kajian bahasa secara struktural, bukan secara pragmatis.
Kiranya batasan itu cukup menjadi pengantar kepada pembahasan lebih lanjut mengenai konteks. Agar jelas apa yang dimaksudkan dengan konteks, berikut dikemukakan beberapa pendapat yang dikutip dari beberapa sumber yang berbeda.
Konteks dalam (sebuah wacana) pragmatik pada dasarnya merupakan ciri ekstralingual yang tidak boleh dianggap remeh, karena ia dapat melengkapi makna sebuah wacana tutur, maupun tulis.
Perhatikan wacana dialog berikut :
Profesor           : berapa semalam Mba’?
Mba’                 : Rp350.000,00 Pak, tapi dijamin Bapak pasti puas.

Dialog di atas konteks fisiknya tidak jelas di mana, karena itu dialog tersebut tidak dapat memberikan informasi yang cukup bagi pembaca, tapi yang pasti keduanya telah paham maksud pertanyaan dan jawaban yang ada. Kesalingpahaman di antara mereka, disebabkan mereka berdua berada dalam konsks fisik yang sama. Karena itu baik pertanyaan maupun jawaban tidak perlu berpanjang-panjang karena mereka sudah saling paham, meskipun hanya dengan pertanyaan dan jawaban yang secara lingual dianggap tidak memadai. Konteks fisiknya, sang Profesor akan mengikuti seminar, berada di depan resepsionis sebuah hotel dan Mba’ itu adalah sang resepsionis. Jadi, dapat dipastikan, bahwa sesuatu yang ditanyakan itu adalah kamar, dan sesuatu yang berharga Rp.350.000,00 itu adalah harga kamar, tetapi seandainya yang bertanya itu seorang anak muda, dan pertanyaan itu ditanyakan di tempat prostitusi misalnya, maka dapat dipastikan makna dari dialog di atas akan menjadi lain. Itulah salah satu penyebab konteks menjadi begitu penting untuk dilibatkan dalam sebuah tuturan, Monica Crabtree dan Joice Powers (ed., 1991:223) pada salah satu tulisan yang berjudul : Pragmatics : Meaning and Context dalam The Language Files menegaskan, to fully understand the meaning of a sentence, we must also understand the context in which it was uttered. “untuk memahami sepenuhnya arti dari sebuah kalimat, kita juga harus memahami konteks di mana konteks itu diucapkan. Pernyataan yang hampir sama dengan itu disampakan oleh Johns (1997) dalam Safnil (2000) Dia menjelaskan, bahwa: Context refers not only to the linguistic environment where a text exists, such as a textbook, novel or a journal, but also to nonlinguistic or non-textual elements that contribute to the situations in which the production and comprehension of the text are accomplished. ‘Konteks tidak hanya mengacu kepada lingkungan linguistik di mana sebuah teks berada, misalnya buku pelajaran, novel atau jurnal, tetapi juga untuk nonlinguistik atau elemen-elemen nontekstual yang berkontribusi pada situasi di mana produksi dan pemahaman teks seseorang dilakukan’. 
Huang, (2007:13) dalam bukunya yang berjudul, Pragmatics, dengan nada yang agak ragu-ragu mengatakan, Context is one of those notions which is used very widely in the linguistics literature, but to which is difficult to give a precise definition. “Konteks adalah salah satu istilah yang digunakan secara luas dalam literatur linguistik, tetapi sulit untuk memberikan definisi yang tepat. Selain itu, Jacob L. Mey (1993:38) dalam bukunya yang berjudul, Pragmatics an Introduction mendefinisikan konteks : the surroundings, in the widest sense that enable the participants in the communication process to interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible. ‘(konteks) adalah situasi lingkungan, dalam arti luas yang memungkinkan para peserta (partisipan) untuk berinteraksi dalam proses komunikasi, dan membuat ekspresi linguistik mereka dalam berinteraksi dapat dipahami.’
Meinhof dan Richardson (1994) mendefinisikan konteks sebagai berikut : Context can mean anything from a global social structure to immediate social situation or to the immediate textual environment of a text. ‘Konteks bisa berarti apa saja yang ada dari struktur sosial secara keseluruhan, baik yang langsung (berhubungan dengan) situasi sosial, maupun yang langsung (berhubungan dengan) lingkungan tekstual teks.’
Levinson (1983) menegaskan dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, bahwa context (in this book) includes only some of the basic parameters of the context of utterance, including participants, identity, role and location, assumptions about what participants know or take for granted, the place of an utterance within a sequence of turns at talking, and so on. ‘konteks hanya mencakup beberapa parameter dasar dari konteks ucapan, termasuk peserta, identitas, peran dan lokasi, asumsi tentang apa yang peserta ketahui atau mengambil untuk diberikan, tempat suatu ucapan dalam urutan berbicara bergantian, dan seterusnya’.
Leech (1983) menjelaskan bahwa konteks merupakan salah satu komponen dalam situasi tutur. Konteks diartikan seabgai aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Dalam definisi ini ditambahkan pula bahwa konteks yaitu sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang secara bersama dimiliki oleh penutur dan petutur, dan konteks ini akan membantu petutur menafsirkan atau memahami maksud penutur.
Subroto (2008:511) menyimpulkan pengertian konteks dalam pragmatik (khususnya sosiopragmatik) sebagai berikut.
(a)   Konteks itu sesuatu yang bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis.
(b)  Konteks itu menyangkut benda-benda dan hal-hal yang terdapat di mana dan kapan tuturan itu terjadi.
(c)  Konteks itu berkaitan dengan interaksi antara penutur dan mitra tutur menyangkut variabel kekuasaan, status sosial, jarak sosial, umur, dan jenis kelamin.
(d) Konteks juga berkaitan dengan kondisi psikologis penutur dan mitra tutur selama proses interaksi terjadi dan motif tuturan.
(e)  Konteks juga menyangkut presuposisi, pengetahuan latar, skemata, implikatur (kaitan dengan eksplikatur).
(f)   Termasuk dalam konteks yang bersifat fisik ialah warna suara dan nada suara para peserta tutur.

Pendapat di atas, dijelaskan dalam contoh ilustrasi berikut ini :
Di sebuah rumah tangga tinggal berdua suami-istri yang sudah cukup usia. Pada suatu pagi tampaknya suami bangun agak terlambat. Tatkala bangun, dia melihat cahaya sudah terang-benderang. Dia bertanya pada istri yang menyapu di luar, “Jam berapa Bu?” istrinya menjawab : “Itu lo Pak, koran dah datang”. Dialog ini menunjukkan adanya konteks : a) kondisi psikologis suami yang terkejut keadaan sudah terang-benderang, ia ingat harus masuk kantor, b) ia tahu bahwa di rumah itu hanya berdua dengan istrinya, maka ia bertanya pada istri, c) istri tidak menjawab secara langsung dan literer, melainkan menyatakan koran sudah datang. Konteks terakhir itu merupakan presuposisi bahwa rumah tangga itu berlanggaran surat kabar dan surat kabar itu biasa tiba sekitar pukul 6.30. Dengan jawaban istri itu (sebagai eksplikatur) suami sudah dapat menarik kesimpulan sendiri (implikatur).
Dari batasan-batasan di atas semakin jelas, betapa pentingnya konteks dalam dalam kajian pragmatik. 





B. Jenis-Jenis Konteks
Pemahaman lebih jauh mengenai konteks ditegaskan Huang (2007) dengan mengutip pendapat Ariel (1990), menurutnya ada tiga tipe konteks dalam pragmatik, yaitu:

1.      Konteks fisik (the physical context) yang mengacu pada pengaturan fisik ucapan. Sebagai contoh interpretasi dari (a) tergantung pada pengetahuan (penutur) dipandang dari konteks fisik ucapan, yaitu, lokasi spatio-temporal ucapan/lokasi ruang-waktu dari tuturan. 
(a) He not the chief executive; he is. He’s the managing director.
2.      Konteks linguistik (the linguistic context) yang mengacu pada ucapan-ucapan sekitarnya dalam wacana yang sama. Apa yang telah disebutkan dalam wacana sebelumnya, misalnya, memainkan peran penting dalam memahami konstruksi eliptis (penghilangan) yang digunakan oleh Mary dalam wacana (b).
(b) John : Who gave the waiter a large tip?
                  Mary : Helen.
3.      Konteks pengetahuan umum (the general knowledge context). Informasi
yang diturunkan dari jenis konteks ini menjelaskan mengapa (c) adalah pragmatis well-formed tetapi (d) pengecualian. Hal ini karena, mengingat dunia nyata pengetahuan kita, sedangkan kita tahu bahwa ada Kota Terlarang yang mengagumkan di Beijing, dan tidak ada atraksi turis di Paris.
(c) I went to Beijing last month. The Forbidden City was magnificent.
(d) I went to Paris last month. The Forbidden City was magnificent.


Selain Huang (2007) membagi konteks dalam tiga kelompok sebagaimana tampak dalam uraian sebelumnya, maka Monica Crabtree dan Joice Powers (1991) dalam The Language Files, Material for an Introduction to Language, Departement of Linguistics, the Ohio State University mengelompokkan konteks dalam empat sub-bagian :
1)      The physical context, (that is), where the conversation takes place, what objects are present, and what actions are taking place. Konteks fisik yaitu di mana terjadi percakapan, apa objek yang sedang dibicarakan, (siapa yang) hadir, dan apa tindak tutur (yang diambil sesuai dengan) tempat; 
2)      Epistemic context, background knowledge shared by the speakers and hearers. ‘Konteks epistemis, (mengacu ke) latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh pembicara dan pendengar;
3)      Linguistic context, utterances previous to the utterances under consideration. ‘Konteks linguistik, ucapan-ucapan sebelumnya ke dalam pertimbangan;
4)      Social context, the social relationship and setting of the speakers and hearers. ’Konteks sosial, (mengacu ke) hubungan sosial dan latar dari si pembicara kaitannya dengan para pendengar.’

Tipe-tipe konteks kelompok pertama hanya terdiri dari tiga tipe, masing-masing (a) konteks fisik (the physical context); (b) konteks linguistik (the linguistic context) dan (c) konteks pengetahuan umum (the general knowledge context), tapi kelompok kedua mengklasifikasikan konteks atas empat tipe yaitu: (a) konteks fisik (the physical context); (b) epistemic context; (c) linguistic context, dan (e) social context.
Penentuan jenis konteks yang paling tepat terdapat pada kelompok kedua. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penjenisan tipe kedua lebih lengkap jika dibandingkan dengan penjenisan tipe pertama karena tipe kelompok kedua melibatkan juga konteks sosial. Untuk memahami tipe-tipe konteks tersebut ada baiknya diperhatikan kutipan ilustrasi berikut.

“… dua orang, berbicara keras, berjalan menuju ke salah satu bagian perpustakaan (konteks fisik). Mereka duduk, dan masih berbicara keras, tapi tak seorang pun mengatakan apa-apa kepada mereka berdua. Setelah sekitar lima menit, seseorang di seberang meja mereka dengan sinis mengatakan: "Bicaralah sedikit lebih keras! Aku rindu pada suara keras Anda...."

Para pendengar akan menafsirkan ucapan ini sebagai permohonan bagi mereka berdua agar mereka tenang, meskipun fakta secara lingual (harfiah) pembicara meminta mereka untuk berbicara lebih keras. Fakta kontekstual tertentu membantu kita, ketika tidak ada sinyal yang menyatakan, bahwa ini adalah permintaan untuk diam: ucapan menyela pembicaraan mereka dan memecah keheningan antara mereka dan orang lain (ini termasuk konteks linguistik), demikian pula dengan permintaan yang dibuat dalam nada sarkastis itu (termasuk konteks linguistik); perpustakaan biasanya di mana pun di dunia ini dikenal sebagai tempat yang tenang (termasuk konteks epistemis), dan mereka berada di perpustakaan (termasuk konteks fisik). Pertanyaan yang muncul, mengapa permintaan dengan nada sarkastis itu harus ditafsirkan dengan makna larangan agar jangan berbicara keras? Bukankah kalimat tadi berupa permintaan agar mereka berdua berbicara lebih keras? Jawabannya tentu berada pada tataran konteks sosial, yang secara konvensional mengenal “ruh” dari kalimat permintaan tadi, karena mereka semua berada dalam konteks sosial yang sama, dan mengenal pernyataan yang sarkastis itu dengan baik dalam sistem sosial mereka.

C. Simpulan

Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks sebagai dasar yang benar-benar harus menjadi bahan pertimbangan untuk memahami bahasa. Analisis pragmatik sangat bergantung pada konteks. Dengan konteks, petutur dapat menafsirkan tuturan penutur dalam sebuah situasi tutur.
Komunikasi dengan menggunakan bahasa tidak akan sempurna jika tidak melibatkan konteks sebagai elemen ekstra lingual yang tidak boleh diabaikan dalam sebuah pertuturan. Konteks menjadi sangat penting hubungannya dengan pragmatik, karena komunikasi yang melibatkan konteks dapat menjadikan komunikasi itu lebih komunikatif, efektif, dan efisien.


E. Daftar Pustaka
Brown, Gillian and George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge University
Press.
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik : Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Huang, Yan. 2007. Pragmatics. Oxford : Oxford University Press.
Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York : Longman Group Limited.
Levinson, Stephen C. 1993. Pragmatics. London: Longman.
Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics an Introduction. Cambridge, Massachusetts: Blackwell
Publishers. 
Nugroho, Miftah. 2010. Konteks dalam Kajian Pragmatik.dalam buku Peneroka Hakikat Bahasa. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik : Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.Jakarta : Erlangga.
Safnil, 2000. Rhetorical Structure analysis of the Indonesian Research Articles.
A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy (Linguistics) of
the Australian National University.
Subroto, Edi. 2008. Pragmatik dan Beberapa Segi Metode Penelitiannya. Dalam buku Kelana Bahana Sang Bahasawan, Persembahan untuk Prof Soenjono Dardjowidjojo. Jakarta : Universitas Atma Jaya.
Verschueren, Jef. 1999. Understanding Pragmatics. New York : Oxford University Press.
Wardhaugh, Ronald. 1998. An Introduction to Sosiolinguistics. (third edition).
Massachusetts: Balackwell Publishers. 
Yan Huang. 2005. Pragmatics. New York: Oxford University Press.






Kontekstualisasi pada Percakapan (Kajian Sosiolinguistik)




A.  Pendahuluan
Secara umum, bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran. Hal ini sejalan dengan fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Dalam sosiolinguistik, bahasa sebagai alat menyampaikan pesan itu dianggap terlalu sempit. Perlu adanya pemahaman faktor di luar bahasa yang akan mendukung dipahaminya pesan yang disampaikan. Faktor di luar bahasa itu antara lain status sosial, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dan lain-lain. Selain itu ada juga faktor lain yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan masalah apa yang dibicarakan. Tetapi, hal yang paling utama yang mempengaruhi sebuah penyampaian pesan adalah faktor budaya.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Hal ini tercermin dari banyaknya suku-suku di Indonesia yang secara tidak langsung telah saling berinteraksi bahkan hidup berdampingan bahkan dengan berbagai orang dari luar. Pergaulan antara orang-orang yang berbeda latar belakang cenderung menyebabkan terjadinya miskomunikasi. Hal ini yang menjadi masalah penting dalam tulisan ini khususnya dalam percakapan sehari-hari antar mahasiswa pascasarjana S2 linguistik deskriptif angkatan 2010.


B.  Konsep Kontekstualisasi dan Komunikasi
1.      Kontekstualisasi
      Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya (Wijana dan Rohmadi, 2006:7).
      Menurut Gumperz (1980), keragaman bahasa lebih dari sebuah fakta perilaku yang berfungsi sebagai sumber komunikatif dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, menurut Gumperz, isyarat kontekstualisasi adalah setiap fitur yang memberikan kontribusi terhadap pemberian sinyal dari presuposisi (perkiraan) kontekstual.
      Jadi disimpulkan bahwa kontekstualisasi berkaitan dengan situasi dan kondisi di sekitar yang didukung oleh fitur-fitur yang memberikan kontribusi dalam bertutur.


2.      Komunikasi
      Menurut Chaer dan Agustina (2004:17), komunikasi memiliki tiga komponen yang harus ada dalam setiap proses komunikasi yaitu (1) pihak yang berkomunikasi yaitu pengirim dan penerima informasi yang dikomunikasikan, yang lazim disebut partisipan; (2) informasi yang dikomunikasikan, dan (3) alat yang digunakan dalam komunikasi. Suatu komunikasi memang sering tidak tidak berjalan mulus karena adanya gangguan hambatan. Tiadanya kesadaran dari salah satu pihak partisipan merupakan sebuah hambatan. Gangguan atau hambatan lain misalnya data pendengaran yang kurang baik, suara bising di tempat komunikasi berlangsung, atau juga penggunaan bahasa yang kurang baik.
      Pendapat lain dari Sutopo (1983:13), menyatakan bahwa komunikasi yang efektif apabila antara komunikator dan komunikan menciptakan sistem lambang komunikasi supaya dapat diperoleh tafsir yang sama. Apabila pesan yang dikirim telah sesuai dengan penerimaan maka terjadilah komunikasi.
      Jadi, dari beberapa konsep ini disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan dengan menggunakan bahasa (verbal dan nonverbal) yang terjadi dalam sebuah konteks.

C.    Pembahasan
Bahasa adalah alat komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan. Selain itu pula seperti dikatakan sebelumnya bahwa komunikasi akan tercapai apabila pemahaman tentang konteks lebih diutamakan. Namun, dalam kenyataannya seringkali terjadi miskomunikasi yang tidak bisa dihindari karena situasi.
Contoh berikut adalah fenomena miskomunikasi yang sering terjadi dalam peristiwa tuturan.

1.         Seorang mahasiswa sedang membaca dengan serius yang terusik dengan kedatangan temannya.
A : hai mba.... uda makan?
B : malas..
A : saya uda makan tadi, sekalian biar gak turun lagi.
B : oh.... (matanya kembali terpaku ke buku, tanpa memperhatikan muka si A)
A : (dengan sedikit kesal mengambil buku dan ikut membaca)

Pada percakapan di atas, si A bermaksud menyapa dengan itikad baik dan penuh perhatian namun si B malah cuek dan asyik dengan bacaannya. Hubungan antara si A dan si B memang telah akrab tetapi dalam situasi ini, harusnya si A bisa memahami bahwa si B sedang serius membaca yang otomatis membuat dirinya disepelekan. Jawaban si B yang mengatakan “malas” dan “oh....” menandakan bahwa si B tidak ingin diganggu karena ingin fokus sedangkan si B menginginkan percakapan yang lebih lengkap dan mendalam. Faktor lain yang membuat si A kesal adalah jawaban “malas.”, yang menurutnya kasar. Si A adalah orang Jawa, sedangkan si B adalah non-Jawa. Si A seharusnya memahami bahwa si B pasti tidak akan sehalus dirinya.

Berikut ini adalah contoh yang menggambarkan prasangka yang buruk karena pemahaman situasi yang kurang.

2.         Seorang mahasiswa asing yang belum terlalu mahir berbahasa Indonesia tiba di kelas.
C : (datang dengan senyum-senyum)
D : (berkata dengan cepat) Uda ngerja tugas blum?
C : (senyum)
D : home work!
C : belum. (berjalan keluar)
D : orang aneh!

Dari percakapan antara si C dan D, nampak tidak komunikatif. Maksud si D kurang dipahami oleh si C, yang menyebabkan si D mengatakan “orang aneh” dengan kesal. Si C datang dengan hanya bahasa isyarat “(senyum-senyum)” dan “(senyum)” menandakan bahwa dia belum terlalu menguasai bahasa Indonesia. Si D harusnya menyadari bahwa bicaranya terlalu cepat sehingga apa yang ditanyakannya bisa dipahami si C yang membutuhkan perkataan yang jelas, pelan, dan lengkap. Ternyata, si C lebih memahami bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia, apalagi jika bahasa Indonesia terlalu cepat, menyebabkan si C tidak memahami maksud.
Fenomena lain dari contoh ini adalah adanya peristiwa alih kode. Peristiwa alih kode  ini dalam konteks akan mendukung komunikasi yang komunikatif. Perbedaan kemampuan komunikatif antara C dan D akan berpengaruh dalam komunikasi.

Berikut ini adalah contoh percakapan yang harusnya dijawab, tetapi masalah memberikan pertanyaan baru. Selain itu juga, nampak ketidaksinkronan dalam percakapan.

3.         Seorang mahasiswa datang dengan tergesa-gesa menghampiri dua orang temannya yang sedang bercakap.
E : bapak belum datang yah?
F : bukunya mana mba?
E : ya ampun... lupa! (memegang dahi)
      Sori, besok aja yah soalnya tadi ku cepat-cepat.
G : (tertawa terbahak-bahak sambil menutup mulutnya)
F : ya ampun! (mengulang kata si E, sambil menatap temannya)
E : dasar nih! (sambil ikutan tersenyum)

Dari petikan di atas, nampak hubungan si E, F, dan G telah akrab dan memiliki usia yang hampir sama. Walaupun nampaknya antara satu tuturan dengan yang lain tidak sinkron tetapi secara konteks, pemahaman konteks antara si E, F, dan G menyebabkan tidak terjadinya konflik. Si E bertanya “bapak belum datang yah?”, tidak dijawab oleh F dan G. Malah si F bertanya tentang buku yang dipinjam si E. si E memberikan alasan bahwa dia lupa membawa bukunya, tetapi si F malah mengulang katanya “ya ampun!” yang mengindikasikan bahwa dia merasa lucu melihat jawaban si E. Begitu pula si G, malah tertawa terbahak-bahak. Hal yang paling mendasar adalah si E benar-benar memahami konteks sehingga tidak tersinggung dengan jawaban dan tingkah F dan G.

Hal ini berbeda dengan percakapan berikut, yang menyebabkan terjadinya salah tafsir karena faktor linguistik dan situasi yang bisa mengarah ke diskomunikasi.
                                                            
4.         3 orang mahasiswa sedang berbicara dengan sedikit berbisik karena sedang mengikuti kuliah. 2 orang adalah mahasiswa Indonesia dengan suku yang berlainan, yang satunya adalah seorang mahasiswa asing. Mereka sedang mengikuti kuliah yang agak membosankan.
H : Bapakmu kerja dimana?
I :  apa? (kelihatan bingung)
H : where is your father work?
I : Vice Director in High School. (dengan suara pelan sesuai gayanya)
H : oh....
J : dia bilang apa?
H : dia bilang bapaknya Rektor!
J : enak benar yah dia.

Dari kutipan di atas, terjadi miskomunikasi yang tarafnya agak fatal yang bisa mengarah ke diskomunikasi. Situasi kuliah yang agak menjenuhkan menyebabkan ketiga mahasiswa itu berbisik-bisik sambil sekali-kali melihat ke depan kelas. Si H bertanya “Bapakmu kerja dimana?” si I yang kurang memiliki kemampuan linguistik yang cukup ditambah dengan situasi kuliah yang menyebabkan perhatiannya terbagi. Selain itu juga, tanggapan asal-asalan dari si H yang disebabkan oleh situasi menyebabkan pesan yang akan disampaikan ke orang berikutnya menjadi salah. Sehingga si J pun menanggapi salah. Dalam peristiwa ini juga, terjadi alih kode dari bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris yang tidak sengaja dilakukan I. Si I adalah seorang mahasiswa asing yang baru mempelajari bahasa Indonesia, sehingga pada saat ia kesulitan mencari kata dalam bahasa Indonesia, ia akan mencari dalam bahasa asing yang menurutnya bisa dipahami oleh lawan tuturnya.
Peristiwa di atas juga, tergambar bahwa penyampaian pesan tidak efektif. Bukan hanya karena faktor linguistik tetapi situasi. Seharusnya si H menanyakan lagi ke I dengan jelas, baru menyampaikan lagi ke J. Peristiwa ini bisa mengarah ke diskomunikasi.

Situasi sedang mengikuti kuliah, si L sedang menyimak kuliah dengan serius. Sedangkan si K agaknya bosan karena terlalu tertekan dengan tugas yang menumpuk.
5.         K : (sambil berbisik dengan mata tertuju ke dosen yang mengajar) kita nyari buku yuk!
L : kenapa?
K : untuk tugas makalah tuh, referensinya kurang!
L : maksudnya apa? (agak bingung)
K : besok, kita bareng ke toko buku, kamu mau gak?
L : ia, aku mau.
K : besok jam 12 ku jemput yah?

Pada penggalan ini, si K membuka percakapan dengan “kita nyari buku yuk!”. Si L lebih terfokus pada kuliah sehingga tidak mendengar apa yang di katakan si K. Si K berpikir bahwa L tidak mengerti maksudnya sehingga dia menjelaskan lagi “untuk tugas makalah tuh, referensinya kurang!”. Si L malah  semakin bingung, karena tidak mengerti apa yang dibicarakan sebelumnya. Akhirnya si K menjelaskan ulang, barulah si L mengerti.

Dari berbagai contoh di atas, komunikasi verbal yang terjadi juga didukung oleh komunikasi non verbal (gerak-gerik, mimik, dll). Komunikasi yang efektif selalu didukung oleh isyarat nonverbal yang baik. Sehingga penyampaian pesan dan maksud lebih dipahami. Dari berbagai contoh sebelumnya, terjadi peristiwa alih kode yang mendukung pemahaman pesan. Bukan hanya alih kode, mungkin saja akan terjadi campur kode dalam berbagai komunikasi selanjutnya.



D. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.      Miskomunikasi secara tidak langsung akan terjadi dalam interaksi antara orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda.
2.      Pada contoh 1, perbedaan budaya dalam hal ini suku berperan penting. Masalah halus dan kasarnya sebuah tuturan ini menyebabkan munculnya kekesalan pada diri seseorang.
3.      Pada contoh 2, penguasaan kemampuan kebahasaan yang berbeda menyebabkan maksudyang disampaikan kurang dipahami. Sehingga, terjadi peristiwa alih kode yang secara kontekstual membantu seseorang memahami maksud percakapan.
4.      Pada contoh 3, komunikasi yang terjadi berjalan lancar tanpa ada konflik meskipun hal yang ditanyakan tidak mendapatkan respon. Faktor usia dan keakraban menyebabkan terjadinya saling menghargai dan memahami perbedaan budaya.
5.      Pada contoh 4, terjadi miskomunikasi yang parah yang mengarah ke diskomunikasi. Selain itu, factor peserta yang kurang memperhatikan isi pesan yang disampaikan menyebabkan terjadinya penafsiran yang keliru.
6.      Pada contoh 5, peserta percakapan tidak memahami pesan karena dengan terpaksa terlibat dalam percakapan. Sehingga, pesan yang ingin disampaikan perlu diulang dengan jelas barulah dipahami isinya.
7.      Komunikasi yang efektif terjadi atas kerja sama antara peserta percakapan serta pemahaman konteks lokal.
DAFTAR PUSTAKA


Aslinda & Syafyahya. 2010. Pengantar Soiolinguistik. Bandung : PT. Refika Aditama.
                                                       
Chaer & Agustina.  2004. Sosiolinguistik : Perkenalan Awal. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Fishman, Joshua A. 1972. The Sosiology of Language. Massachusetts : Newbury House Publishers.

Hymes, Dell. 1989. Foundations In Sociolinguistics : An Ethnographic Approach. Philadelphia : University of Pennsylvania Press.

Rahardi, Kunjana. 2010. Kajian Sosiolinguistik : Ihwal Kode dan Alih Kode. Bogor : Ghalia Indonesia.

Sumarsono. 2009. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Suwito. 1983. Sosiolinguistik : Teori dan Problema. Surakarta : Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Wijana dan Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik : Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Zamzani. 2007. Kajian Sosiopragmatik. Yogyakarta : Cipta Pustaka.