Selasa, 03 November 2015

Kontekstualisasi pada Percakapan (Kajian Sosiolinguistik)




A.  Pendahuluan
Secara umum, bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran. Hal ini sejalan dengan fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Dalam sosiolinguistik, bahasa sebagai alat menyampaikan pesan itu dianggap terlalu sempit. Perlu adanya pemahaman faktor di luar bahasa yang akan mendukung dipahaminya pesan yang disampaikan. Faktor di luar bahasa itu antara lain status sosial, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dan lain-lain. Selain itu ada juga faktor lain yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan masalah apa yang dibicarakan. Tetapi, hal yang paling utama yang mempengaruhi sebuah penyampaian pesan adalah faktor budaya.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Hal ini tercermin dari banyaknya suku-suku di Indonesia yang secara tidak langsung telah saling berinteraksi bahkan hidup berdampingan bahkan dengan berbagai orang dari luar. Pergaulan antara orang-orang yang berbeda latar belakang cenderung menyebabkan terjadinya miskomunikasi. Hal ini yang menjadi masalah penting dalam tulisan ini khususnya dalam percakapan sehari-hari antar mahasiswa pascasarjana S2 linguistik deskriptif angkatan 2010.


B.  Konsep Kontekstualisasi dan Komunikasi
1.      Kontekstualisasi
      Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya (Wijana dan Rohmadi, 2006:7).
      Menurut Gumperz (1980), keragaman bahasa lebih dari sebuah fakta perilaku yang berfungsi sebagai sumber komunikatif dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, menurut Gumperz, isyarat kontekstualisasi adalah setiap fitur yang memberikan kontribusi terhadap pemberian sinyal dari presuposisi (perkiraan) kontekstual.
      Jadi disimpulkan bahwa kontekstualisasi berkaitan dengan situasi dan kondisi di sekitar yang didukung oleh fitur-fitur yang memberikan kontribusi dalam bertutur.


2.      Komunikasi
      Menurut Chaer dan Agustina (2004:17), komunikasi memiliki tiga komponen yang harus ada dalam setiap proses komunikasi yaitu (1) pihak yang berkomunikasi yaitu pengirim dan penerima informasi yang dikomunikasikan, yang lazim disebut partisipan; (2) informasi yang dikomunikasikan, dan (3) alat yang digunakan dalam komunikasi. Suatu komunikasi memang sering tidak tidak berjalan mulus karena adanya gangguan hambatan. Tiadanya kesadaran dari salah satu pihak partisipan merupakan sebuah hambatan. Gangguan atau hambatan lain misalnya data pendengaran yang kurang baik, suara bising di tempat komunikasi berlangsung, atau juga penggunaan bahasa yang kurang baik.
      Pendapat lain dari Sutopo (1983:13), menyatakan bahwa komunikasi yang efektif apabila antara komunikator dan komunikan menciptakan sistem lambang komunikasi supaya dapat diperoleh tafsir yang sama. Apabila pesan yang dikirim telah sesuai dengan penerimaan maka terjadilah komunikasi.
      Jadi, dari beberapa konsep ini disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan dengan menggunakan bahasa (verbal dan nonverbal) yang terjadi dalam sebuah konteks.

C.    Pembahasan
Bahasa adalah alat komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan. Selain itu pula seperti dikatakan sebelumnya bahwa komunikasi akan tercapai apabila pemahaman tentang konteks lebih diutamakan. Namun, dalam kenyataannya seringkali terjadi miskomunikasi yang tidak bisa dihindari karena situasi.
Contoh berikut adalah fenomena miskomunikasi yang sering terjadi dalam peristiwa tuturan.

1.         Seorang mahasiswa sedang membaca dengan serius yang terusik dengan kedatangan temannya.
A : hai mba.... uda makan?
B : malas..
A : saya uda makan tadi, sekalian biar gak turun lagi.
B : oh.... (matanya kembali terpaku ke buku, tanpa memperhatikan muka si A)
A : (dengan sedikit kesal mengambil buku dan ikut membaca)

Pada percakapan di atas, si A bermaksud menyapa dengan itikad baik dan penuh perhatian namun si B malah cuek dan asyik dengan bacaannya. Hubungan antara si A dan si B memang telah akrab tetapi dalam situasi ini, harusnya si A bisa memahami bahwa si B sedang serius membaca yang otomatis membuat dirinya disepelekan. Jawaban si B yang mengatakan “malas” dan “oh....” menandakan bahwa si B tidak ingin diganggu karena ingin fokus sedangkan si B menginginkan percakapan yang lebih lengkap dan mendalam. Faktor lain yang membuat si A kesal adalah jawaban “malas.”, yang menurutnya kasar. Si A adalah orang Jawa, sedangkan si B adalah non-Jawa. Si A seharusnya memahami bahwa si B pasti tidak akan sehalus dirinya.

Berikut ini adalah contoh yang menggambarkan prasangka yang buruk karena pemahaman situasi yang kurang.

2.         Seorang mahasiswa asing yang belum terlalu mahir berbahasa Indonesia tiba di kelas.
C : (datang dengan senyum-senyum)
D : (berkata dengan cepat) Uda ngerja tugas blum?
C : (senyum)
D : home work!
C : belum. (berjalan keluar)
D : orang aneh!

Dari percakapan antara si C dan D, nampak tidak komunikatif. Maksud si D kurang dipahami oleh si C, yang menyebabkan si D mengatakan “orang aneh” dengan kesal. Si C datang dengan hanya bahasa isyarat “(senyum-senyum)” dan “(senyum)” menandakan bahwa dia belum terlalu menguasai bahasa Indonesia. Si D harusnya menyadari bahwa bicaranya terlalu cepat sehingga apa yang ditanyakannya bisa dipahami si C yang membutuhkan perkataan yang jelas, pelan, dan lengkap. Ternyata, si C lebih memahami bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia, apalagi jika bahasa Indonesia terlalu cepat, menyebabkan si C tidak memahami maksud.
Fenomena lain dari contoh ini adalah adanya peristiwa alih kode. Peristiwa alih kode  ini dalam konteks akan mendukung komunikasi yang komunikatif. Perbedaan kemampuan komunikatif antara C dan D akan berpengaruh dalam komunikasi.

Berikut ini adalah contoh percakapan yang harusnya dijawab, tetapi masalah memberikan pertanyaan baru. Selain itu juga, nampak ketidaksinkronan dalam percakapan.

3.         Seorang mahasiswa datang dengan tergesa-gesa menghampiri dua orang temannya yang sedang bercakap.
E : bapak belum datang yah?
F : bukunya mana mba?
E : ya ampun... lupa! (memegang dahi)
      Sori, besok aja yah soalnya tadi ku cepat-cepat.
G : (tertawa terbahak-bahak sambil menutup mulutnya)
F : ya ampun! (mengulang kata si E, sambil menatap temannya)
E : dasar nih! (sambil ikutan tersenyum)

Dari petikan di atas, nampak hubungan si E, F, dan G telah akrab dan memiliki usia yang hampir sama. Walaupun nampaknya antara satu tuturan dengan yang lain tidak sinkron tetapi secara konteks, pemahaman konteks antara si E, F, dan G menyebabkan tidak terjadinya konflik. Si E bertanya “bapak belum datang yah?”, tidak dijawab oleh F dan G. Malah si F bertanya tentang buku yang dipinjam si E. si E memberikan alasan bahwa dia lupa membawa bukunya, tetapi si F malah mengulang katanya “ya ampun!” yang mengindikasikan bahwa dia merasa lucu melihat jawaban si E. Begitu pula si G, malah tertawa terbahak-bahak. Hal yang paling mendasar adalah si E benar-benar memahami konteks sehingga tidak tersinggung dengan jawaban dan tingkah F dan G.

Hal ini berbeda dengan percakapan berikut, yang menyebabkan terjadinya salah tafsir karena faktor linguistik dan situasi yang bisa mengarah ke diskomunikasi.
                                                            
4.         3 orang mahasiswa sedang berbicara dengan sedikit berbisik karena sedang mengikuti kuliah. 2 orang adalah mahasiswa Indonesia dengan suku yang berlainan, yang satunya adalah seorang mahasiswa asing. Mereka sedang mengikuti kuliah yang agak membosankan.
H : Bapakmu kerja dimana?
I :  apa? (kelihatan bingung)
H : where is your father work?
I : Vice Director in High School. (dengan suara pelan sesuai gayanya)
H : oh....
J : dia bilang apa?
H : dia bilang bapaknya Rektor!
J : enak benar yah dia.

Dari kutipan di atas, terjadi miskomunikasi yang tarafnya agak fatal yang bisa mengarah ke diskomunikasi. Situasi kuliah yang agak menjenuhkan menyebabkan ketiga mahasiswa itu berbisik-bisik sambil sekali-kali melihat ke depan kelas. Si H bertanya “Bapakmu kerja dimana?” si I yang kurang memiliki kemampuan linguistik yang cukup ditambah dengan situasi kuliah yang menyebabkan perhatiannya terbagi. Selain itu juga, tanggapan asal-asalan dari si H yang disebabkan oleh situasi menyebabkan pesan yang akan disampaikan ke orang berikutnya menjadi salah. Sehingga si J pun menanggapi salah. Dalam peristiwa ini juga, terjadi alih kode dari bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris yang tidak sengaja dilakukan I. Si I adalah seorang mahasiswa asing yang baru mempelajari bahasa Indonesia, sehingga pada saat ia kesulitan mencari kata dalam bahasa Indonesia, ia akan mencari dalam bahasa asing yang menurutnya bisa dipahami oleh lawan tuturnya.
Peristiwa di atas juga, tergambar bahwa penyampaian pesan tidak efektif. Bukan hanya karena faktor linguistik tetapi situasi. Seharusnya si H menanyakan lagi ke I dengan jelas, baru menyampaikan lagi ke J. Peristiwa ini bisa mengarah ke diskomunikasi.

Situasi sedang mengikuti kuliah, si L sedang menyimak kuliah dengan serius. Sedangkan si K agaknya bosan karena terlalu tertekan dengan tugas yang menumpuk.
5.         K : (sambil berbisik dengan mata tertuju ke dosen yang mengajar) kita nyari buku yuk!
L : kenapa?
K : untuk tugas makalah tuh, referensinya kurang!
L : maksudnya apa? (agak bingung)
K : besok, kita bareng ke toko buku, kamu mau gak?
L : ia, aku mau.
K : besok jam 12 ku jemput yah?

Pada penggalan ini, si K membuka percakapan dengan “kita nyari buku yuk!”. Si L lebih terfokus pada kuliah sehingga tidak mendengar apa yang di katakan si K. Si K berpikir bahwa L tidak mengerti maksudnya sehingga dia menjelaskan lagi “untuk tugas makalah tuh, referensinya kurang!”. Si L malah  semakin bingung, karena tidak mengerti apa yang dibicarakan sebelumnya. Akhirnya si K menjelaskan ulang, barulah si L mengerti.

Dari berbagai contoh di atas, komunikasi verbal yang terjadi juga didukung oleh komunikasi non verbal (gerak-gerik, mimik, dll). Komunikasi yang efektif selalu didukung oleh isyarat nonverbal yang baik. Sehingga penyampaian pesan dan maksud lebih dipahami. Dari berbagai contoh sebelumnya, terjadi peristiwa alih kode yang mendukung pemahaman pesan. Bukan hanya alih kode, mungkin saja akan terjadi campur kode dalam berbagai komunikasi selanjutnya.



D. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.      Miskomunikasi secara tidak langsung akan terjadi dalam interaksi antara orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda.
2.      Pada contoh 1, perbedaan budaya dalam hal ini suku berperan penting. Masalah halus dan kasarnya sebuah tuturan ini menyebabkan munculnya kekesalan pada diri seseorang.
3.      Pada contoh 2, penguasaan kemampuan kebahasaan yang berbeda menyebabkan maksudyang disampaikan kurang dipahami. Sehingga, terjadi peristiwa alih kode yang secara kontekstual membantu seseorang memahami maksud percakapan.
4.      Pada contoh 3, komunikasi yang terjadi berjalan lancar tanpa ada konflik meskipun hal yang ditanyakan tidak mendapatkan respon. Faktor usia dan keakraban menyebabkan terjadinya saling menghargai dan memahami perbedaan budaya.
5.      Pada contoh 4, terjadi miskomunikasi yang parah yang mengarah ke diskomunikasi. Selain itu, factor peserta yang kurang memperhatikan isi pesan yang disampaikan menyebabkan terjadinya penafsiran yang keliru.
6.      Pada contoh 5, peserta percakapan tidak memahami pesan karena dengan terpaksa terlibat dalam percakapan. Sehingga, pesan yang ingin disampaikan perlu diulang dengan jelas barulah dipahami isinya.
7.      Komunikasi yang efektif terjadi atas kerja sama antara peserta percakapan serta pemahaman konteks lokal.
DAFTAR PUSTAKA


Aslinda & Syafyahya. 2010. Pengantar Soiolinguistik. Bandung : PT. Refika Aditama.
                                                       
Chaer & Agustina.  2004. Sosiolinguistik : Perkenalan Awal. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Fishman, Joshua A. 1972. The Sosiology of Language. Massachusetts : Newbury House Publishers.

Hymes, Dell. 1989. Foundations In Sociolinguistics : An Ethnographic Approach. Philadelphia : University of Pennsylvania Press.

Rahardi, Kunjana. 2010. Kajian Sosiolinguistik : Ihwal Kode dan Alih Kode. Bogor : Ghalia Indonesia.

Sumarsono. 2009. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Suwito. 1983. Sosiolinguistik : Teori dan Problema. Surakarta : Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.

Wijana dan Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik : Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Zamzani. 2007. Kajian Sosiopragmatik. Yogyakarta : Cipta Pustaka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar