Selasa, 03 November 2015

Stilistika Khotbah

Stilistika Khotbah “Ajarku Bersyukur” pada Renungan Harian Kristen Manna Sorgawi Edisi Februari 2011

A.    Pendahuluan
Setiap manusia menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Selain itu, bahasa juga berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan dari pihak satu ke pihak yang lain. Setiap orang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda disebabkan berbagai faktor. Setiap  individu secara tidak langsung memiliki dikotomi Noam Chomsky, yaitu kompetensi dan performansi yang berbeda. Kompetensi kebahasaan tiap individu berbeda, karena perbedaan kompetensi ini tiap individu tentu memiliki performansi tata bahasa yang berbeda. Hal ini juga berlaku pada pembentukan artikulator tiap indvidu yang memengaruhi pelafalan dalam berbicara. Begitu juga dengan jumlah perbendaharaan kata tiap individu yang sangat berpengaruh terhadap pemilihan kata (diksi) baik dalam menulis maupun berbicara.
Ditinjau dari media penyampaiannya, ragam bahasa dapat dibagi menjadi dua, yaitu ragam lisan dan ragam tulis. Ragam lisan meliputi ragam percakapan, ragam pidato, ragam kuliah, dan ragam panggung, sedangkan ragam tulis meliputi ragam teknis, ragam undang-undang, ragam catatan, dan ragam surat-menyurat. Ditinjau dari penggunaannya, ragam bahasa dapat dipilah menjadi empat, yaitu (1) ragam baku digunakan dalam khotbah keagamaan, naskah kesejarahan misalnya misalnya teks Proklamasi, Piagam Jakarta, Sumpah Pemuda, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dll. (2) ragam formal digunakan dalam situasi formal, misalnya pidato kenegaraan, pidato kepala pemerintahan, sambutan resmi, dll., (3) ragam semiformal digunakan dalam situasi yang semiformal. Situasi ini misalkan dapat ditemukan dalam pengajaran yang menuntut aksi-reaksi dosen/guru dengan mahasiswa/siswa. Dalam situasi pengajaran seorang dosen/guru kurang tepat jika menggunakan ragam bahasa baku, dan (4) ragam santai digunakan antarteman/saudara dalam situasi yang santai, akrab, hangat, antarteman, sesama anggota keluarga, bukan dalam situasi yang formal.
Setiap manusia dalam menggunakan bahasa dilandasi oleh kepentingan. Kepentingan yang paling mendasar adalah untuk menyampaikan ide, gagasan, maksud, dan keinginannya. Stilistika merupakan ilmu yang membahas tentang gaya, bukan hanya gaya dalam puisi dan prosa, tetapi juga gaya dalam retorika serta satuan kebahasaan lain. Ada beberapa wacana yang penting yang menentukan gaya penulis atau pembicara antara lain narasi, deskripsi, persuasi, argumentasi dan eksposisi. Gaya bahasa dalah cara tersendiri seseorang dalam menggunakan bahasa, bagaimana menggunakan kata-kata yang pantas pada tempat yang tepat. Gaya bahasa dapat memberikan beberapa kontribusi positif bagi efektivitas seorang pembicara. Suatu pesan yang digayakan dapat ‘memperoleh perhatian’ yang lebih besar. Pada dasarnya, pesan yang benar-benar digayakan menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa. Oleh karena itu, unsur-unsur kejutan dan kebaruan selalu merupakan unsur-unsur gaya. Pesan yang digayakan dapat menarik dan mempertahankan minat khalayak. Pesan yang digayakan dapat mempertinggi ‘pengertian’ atau ‘pemahaman pesan’. Penggunaan metafora atau tamsil dapat memudahkan pemahaman pesan. Gagasan yang rumit mungkin dapat disampaikan dengan lebih jelas melalui bahasa kiasan. Pesan yang digayakan  dapat membantu ‘pengingatan’ suatu pesan. Penggunaan berbagai pola sintaksis atau kata kiasan dapat membantu khalayak mengingat unsur penting dari pesan. Pesan yang digayakan dapat meningkatkan daya tarik persuasif suatu pesan. Apabila perhatian diperoleh dan dipertahankan, orang mungkin lebih memahami pesan sehingga kemungkinan besar orang akan mengikuti dan mendukung pendapat kita.
Khotbah merupakan salah satu jenis pidato yang menggunakan bahasa yang baku serta berisi hal-hal keagamaan yang biasanya disampaikan oleh seorang pemuka agama. Khotbah sekarang ini telah mengalami perkembangan, bukan hanya khotbah lisan tetapi juga tertulis. Objek yang dikaji dalam makalah ini adalah khotbah tertulis yang ada pada renungan harian Kristen. Hal yang mendasari objek tentang khotbah tertulis ini dibahas, karena khotbah menggunakan gaya bahasa yang menarik yang dapat mempengaruhi sikap, pemikiran bahkan perasaan seseorang tentang kepercayaan terhadap Tuhan. Seorang pembawa khotbah akan mempengaruhi pesan keagamaan yang disampaikan kepada pendengarnya. Oleh karena itu, pembawa khotbah haruslah menggunakan gaya bahasa yang menarik sehingga pesan yang disampaikannya dapat diterima dengan baik.

B.     Landasan Teori
1.      Retorika
Retorika memegang peranan penting dalam kegiatan berbicara. Menurut Aristoteles, retorika adalah ilmu yang mengajarkan orang keterampilan menemukan secara persuasif dan objektif suatu kasus (Arsjad dan Mukti, 1993:5). Tujuan retorika adalah meyakinkan pihak lain akan kebenaran kasus yang dibicarakan. Keyakinan akan kebenaran kasus merupakan tujuan akhir. Aristoteles mengemukakan 4 fungsi retorika yaitu :
1)      menuntut orang mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai kemungkinan memecahkan suatu kasus;
2)      membimbing orang memahami kondisi kejiwaan penanggap tutur;
3)      memimpin orang menganalisis kasus secara sistematis objektif untuk menemukan secara persuasif yang efektif utuk meyakinkan orang, dan
4)      mengajarkan cara-cara yang efektif untuk mempertahankan gagasan.
Pendapat berbeda tentang retorika diungkapkan Djojosurot (2007:396), retorika atau keterampilan berbicara atau seni berbicara adalah suatu usaha seseorang untuk menyampaikan buah pikiran pada orang lain sehingga orang itu terpengaruh. Di dalam menyampaikan pendapat atas proses berpikir atau pengalaman sehari-hari dibutuhkan kemampuan berbahasa secara baik.

2.      Fungsi Bahasa
Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa juga merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya nonempiris. Menurut Djojosurot (2007:74), bahasa memiliki fungsi antara lain :
-          Alat komunikasi ekspresif
-          Alat komunikasi argumentatif
-          Fungsi informasi
-          Fungsi eksplorai
-          Fungsi persuasi
-          Fungsi entertaimen
Secara umum, baahsa mempunyai fungsi pokok yaitu kognitif, emotif, imperatif, evaluatif, bertanya, performatif, magis, seremonial, ekspresif, dan seruan. Menurut Halliday dalam Djojosurot (2007:76-77), bahasa memiliki fungsi yaitu :
-          The instrumental function (fungsi instrumental),
-          The regulatory function (fungsi regulasi),
-          The representational function (fungsi pemberian),
-          The interactional function (fungsi interaksi),
-          The personal function (fungsi personal),
-          The heuristic function (fungsi heuristik),
-          The imagination function (fungsi imajinatif).

3.      Gaya Bahasa Repetisi
Menurut Pradopo (1993:93), gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timpul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa yang ada pada khotbah yang dianalisis yaitu reetisi dan perumpamaan, konsep kedua gaya ini dipaparkan berikut.
Menurut Sumarlam (2009:35), repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Pendapat ini hampir mirip dengan pendapat Djajasudarma (1994:73), yang mengatakan bahwa pengulangan merupakan salah satu kohesi leksikal yang dapat terjadi melalui diksi (pilihan kata) yang memiliki hubungan tertentu dengan kata yang digunakan terdahulu.

4.      Pengacuan Persona
Menurut Sumarlam (2009:23), pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan tempatnya, apakah acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks, maka pengacuan dibedakan menjadi dua jenis yaitu : (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau  terdapat di dalam teks wacana itu, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana.



C.    Pembahasan
Bahasa memainkan peranan penting dalam hidup kita. Bahasa mempunyai pengaruh yang luar biasa, dan termasuk dari apa yang membedakan manusia dari binatang. Setiap manusia sekarang ini telah memiliki kepercayaannya, baik kepercayaan kepada Tuhan maupun kepada hal lain berkaitan dengan kebiasaan atau budayanya. Berbagai persoalan manusia serta peningkatan kebutuhan yang semakin sulit memungkinkan manusia tertekan dan menyebabkan terjadinya banyak masalah. Khotbah merupakan salah satu sarana yang sering menjadi tempat memperoleh jalan keluar setiap orang dalam hidup.
Khotbah biasa berisi hal-hal yang memungkinkan dapat membantu dan memotivasi setiap orang untuk bangkit dan mengatasi semua persoalan. Saat mendengarkan khotbah orang selalu merasa dikuatkan. Gaya bahasa yang memotivasi dan menyemangati penyimak khotbah memungkinkan peran yang disampaikan dapat diterima dan diikuti oleh orang yang mengikuti khotbah tersebut. Kutipan tentang khotbah yang berjudul ‘Ajarku Bersyukur’ dikutip berikut ini.
 (1 Tesalonika 5:18)
“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”
Berdasarkan kutipan di atas, khotbah ini memulai dengan sebuah landasan atau pijakan yaitu pengkhotbah mengambil dari ayat Alkitab menjadi ayat patokan. Ayat yang dijadikan landasan terdapat 1 Tesalonika 5:18 “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”. Dengan berpijak pada ayat ini, isi khotbah akan dianggap sebagai khotbah yang benar dan tidak menyimpang dari nilai keagamaan yang sebenarnya. Pengutipan ayat sebagai penguatan isi khotbah memungkinkan penyimak lebih percaya bahwa isi pesan berasal dari Tuhan atau alkitabiah. Pemakaian kutipan ayat ini merupakan langkah awal pengkhotbah untuk memaparkan lebih jauh tentang pesan khotbahnya.
Aku bersyukur untuk ruang makan yang kotor sesudah menjamu teman-temanku, karena itu berarti aku dikelilingi banyak orang yang mengasihiku. Aku bersyukur untuk pajak yang harus kubayar, karena itu berarti aku mempunyai penghasilan. Aku bersyukur untuk pakaian yang mulai sempit, karena itu berarti aku mempunyai makanan yang cukup. Aku bersyukur untuk halaman rumput yang harus dipangkas, jendela yang harus dibersihkan, dan selokan yang tersumbat, karena itu berarti aku memiliki rumah. Aku bersyukur untuk keringat yang bercucuran setelah berjalan cukup jauh, karena itu berarti aku masih mampu berjalan. Aku bersyukur untuk suara fals seseorang yang terdengar dengan jelas ketika sedang bernyanyi di gereja, karena itu berarti aku memiliki pendengaran yang baik. Aku bersyukur untuk alarm yang membangunkanku pada waktu subuh, karena berarti Tuhan masih memberikuku kehidupan. Aku bersyukur untuk otot yang pegal-pegal di sore hari setelah bekerja, karena itu berarti aku masih produktif.
Berdasarkan kutipan di atas, terdapat 2 hal penting yaitu (1) penggunaan kohesi gramatikal berupa referensi pronomina persona pertama tunggal dan bebas yaitu aku dan –ku, (2) penggunaan repetisi kata dan repetisi bagian kalimat. Pada paragraf pertama itu ditemukan referensi referensi pronomina persona pertama tunggal bebas dan terikat (aku/-ku) yang berjumlah 20 buah. Penggunaan refensi ini mengacu kepada pembicara atau pengkhotbah sendiri yang berada di luar teks. Pengkhotbah menggunakan kata-kata ini dengan tujuan bahwa khotbahnya memulai darinya sendiri dan tidak bermaksud menggurui. Penggunaan gaya ini juga menunjukkan bahwa sang pengkhotbah telah mempraktekan hal yang disampaikannya yaitu berkaitan dengan ‘bersyukur’. Pengkhotbah berharap bahwa penyimak dapat mengikuti teladannya dengan mengucap syukur selalu dalam hidupnya apapun yang terjadi. Pada analisis sastra, sudut pandang aku adalah orang pertama yang tahu segalanya. Sehingga, dalam khotbah ini secara tidak langsung pengkhotbah telah mengalaminya sebelum menyampaikan maksud khotbahnya.
Hal yang dikaji selanjutnya berkaitan dengan repetisi. Repetisi berhubungan dengan pembahasan sebelumnya yaitu berkaitan dengan referensi ‘aku’ yang diulang-ulang pada setiap kalimat.  Repetisi ‘aku’ yang diulang pada setiap kalimat termasuk repetisi epizeuksis. Repetisi ini ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Pada setiap kalimat, ditemukan repetisi ‘aku’ yang diulang 2-4 kali pada setiap kalimat. Repetisi yang lain yang ditemukan pada paragraf pertama khotbah ini ialah pengulangan bagian kalimat berupa klausa. Klausa yang diulang dalam setiap awal kalimat adalah klausa ‘aku bersyukur’. Repetisi yang terjadi pada awal kalimat yang diulang pada kalimat berikutnya disebut repetisi anafora. Pengulangan klausa ‘aku bersyukur’ pada setiap awal kalimat paragraf pertama ini menunjukan bahwa hal bersyukur sangat penting dan harus dilakukan. Hal bersyukur merupakan inti pada paragraf pertama khotbah ini. Hal bersyukur ini disampaikan dalam bahasa yang sebenarnya sesuai dengan kenyataan dan didukung oleh kata-kata yang nyata tanpa ditutup-tutupi, sehingga penyimak dapat langsung memahami pesan tersebut. Repetisi pada paragraf pertama ini didukung oleh gaya bahasa perumpamaan yang nampak pada paragraf tersebut misalnya : ruang makan yang kotor karena menjamu teman, pajak yang harus dibayar, pakaian yang sempit, halaman rumput yang harus dipangkas, keringat yang bercucuran karena berjalan jauh, dll. Contoh dengan gaya perumpamaan tentang cara bersyukur ini membantu pemahaman penyimak tentang pesan khotbah.
Paragraf pertama khotbah tersebut berhubungan dengan paragraf kedua berikut ini.
Makna dari kalimat-kalimat di atas, yaitu : dibalik segala sesuatu yang kelihatannya tidak menyenangkan, selalu ada hal-hal baik yang patut disyukuri. Firman Tuhan mengajarkan kepada kita untuk bersyukur dalam segala hal. “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tesalonika 5:18). Ketika menghadapi keadaan yang tidak menyebangkan, orang selalu cenderung untuk mengeluh dan tidak puas. Bahkan tidak hanya sebatas mengeluh, ada juga yang mulai menyalahkan situasi, orang lain, atau Tuhan. Sekarang marilah kita mengubah kebiasaan itu dan menggantikannya dengan ucapan syukur. Tanpa disadari, kita selalu membiarkan diri kita untuk mengeluh tentang banyak hal. Pekerjaan menumpuk, cuaca, kelemahan sesama termasuk pasangan, uang yang tidak pernah cukup, makanan yang tidak sesuai selera, dll.
Berdasarkan kutipan di atas, paragraf 2 ini merupakan kelanjutan dari paragraf sebelumnya. Gaya bahasa mengupamakan dirinya sebagai orang yang bersyukur yang ditemukan pada paragraf pertama dijelaskan maknanya pada paragraf 2. Contoh perumpaman sebelumnya diartikan oleh pengkhotbah bahwa “dibalik segala sesuatu yang kelihatannya tidak menyenangkan, selalu ada hal-hal baik yang patut disyukuri”. Pernyataan ini merupakan makna sebenarnya (denotatif) dari perumpaman-perumpamaan pada paragraf 1. Selain itu, pada kutipan di atas, pengkhotbah menunjukan realitas yang sering ditemukan dalam diri setiap orang yaitu ketika menghadapi keadaan yang tidak menyebangkan, orang selalu cenderung untuk mengeluh dan tidak puas. Bahkan tidak hanya sebatas mengeluh, ada juga yang mulai menyalahkan situasi, orang lain, atau Tuhan. Juga yang sering dan banyak dialami yaitu tanpa disadari, kita selalu membiarkan diri kita untuk mengeluh tentang banyak hal. Pekerjaan menumpuk, cuaca, kelemahan sesama termasuk pasangan, uang yang tidak pernah cukup, makanan yang tidak sesuai selera, dll. Hal-hal ini merupakan gaya realistis pengkhotbah yang sudah sering melihat dan mungkin pernah mengalami kondisi ini. Namun, ada gaya bahasa ajakan yang bertujuan persuasif yaitu ingin mempengaruhi dan meyakinkan penyimak untuk mau bersyukur yaitu pad kalimat sekarang marilah kita mengubah kebiasaan itu dan menggantikannya dengan ucapan syukur. Kalimat ini menggunakan gaya ajakan dengan menggunakan kata ‘marilah’ yang berpengaruh dalam pikiran kita untuk ikut dan mengubah sikap. Kata ‘marilah’ mempunyai daya persusif yang berguna dan bermanfaat bagi penyimat khotbah ini.
Paragraf 3 khotbah ini berkaitan dengan gaya argumentasi dari pengkhotbah yang memberikan bukti tentang bagaimana bersyukur dan manfaat yang diperoleh dari melakukan hal tersebut. Berikut kutipan paragraf 2 tersebut,
Sebenarnya, kebiasaan mengucap syukur akan membangun sesuatu yang positif dalam diri kita. Bersyukur membuat kita bisa menghadapi situasi yang sulit dengan tenang, bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, membuat beban menjadi ringan, dan hati tidak kehilangan damai sejahtera. Amsal 17:22 berkata, “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” Kegembiraan lahir dari hati yang bisa mengucap syukur. Jika kita bersyukur, maka hati kita akan gembira.

Berdasarkan kutipan di atas, gaya argumentasi pengkhotbah sangat nampak yaitu menggunakan kata ‘sebenarnya’ serta memakai gaya sebab akibat misalnya : Bersyukur membuat kita bisa menghadapi situasi yang sulit dengan tenang, bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, membuat beban menjadi ringan, dan hati tidak kehilangan damai sejahtera. Gaya ini memang tidak terlalu jelas tetapi pada kalimat terakhir paragraf ini yaitu Jika kita bersyukur, maka hati kita akan gembira, merupakan kalimat sebab akibat yang nyata. Penggunaan gaya sebab akibat ini bertujuan bahwa penyimak dapat mulai bersyukur dan pasti akan berakibat yang baik yaitu hati menjadi gembira. Hal inilah yang merupakan pesan pengkhotbah. Paragraf 4 adalah paragraf terakhir yang biasanya merupakan kesimpulan. Berikut kutipannya.
Mulai saat ini, berusahalah menemukan alasan untuk mengucap syukur di balik keadaan yang sepertinya tidak menyenangkan. Ucapan syukur juga merupakan wujud ketaatan dan keyakinan kita kepada Tuhan yang mengontrol segala sesuatunya dalam hidup kita. Tuhan tidak akan membiarkan kita menjalani kesulitan seorang diri, Ia berjanji bahwa dalam segala hal Ia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Biarlah kita mulai mengembangkan kebiasaan untuk mengucap syukur dalam segala hal.
Pada kutipan paragraf 4 di atas, nampak bahwa kalimat-kalimat ini mengandung makna persuasif dan ajakan serta harapan yang merupakan kesimpulan dari khotbah yang dianalisis ini. Kata ‘berusahalah’ dan ‘biarlah’ adalah kata yang mengandung ajakan melakukan sesuatu yang berpengaruh dalam diri setiap penyimak. Paragraf ini juga mengulang frasa ‘mengucap syukur’yang diulang 3 kali yang intinya menekan pentingnya setiap orang untuk selalu mengucapkan syukur kepada Tuhan, apapun yang dialami. Gaya repetisi serta persuasif digunakan pengkhotbah dalam khotbah ini agar mengubah kebiasaan penyimak yang tidak pernah beryukur menjadi orang yang selalu bersyukur kepada Tuhan.

D.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, disimpulkan beberapa hal berikut.
1.      Khotbah berisi hal-hal yang membangun dan memotivasi penyimak, dengan menggunakan landasan yaitu ayat Alkitab sehingga dianggap benar dan dapat diterima dan diikuti.
2.      Khotbah menggunakan kohesi gramatikal berupa referensi pronomina persona I tunggal dan jamak yaitu aku dan –ku, yang bertujuan bukan untuk menggurui tetapi memulai dari pengkhotbah itu sendiri.
3.      Pengkhotbah juga menggunakan repetisi ‘aku’ yang disebut repetisi epizeuksis, dan repetisi anafora yaitu aku bersyukur.
4.      Khotbah menggunakan gaya bahasa perumpamaan yang mengumpamakan diri pengkhotbah itu sendiri sebagai bentuk kesaksian sehingga khotbahnya dapat diterima dengan baik oleh pendengar.
5.      Khotbah secara langsung selalu menggunakan gaya bahasa persuasif dan argumentasi misalnya menggunakan kata ajakan ‘berusahalah’ dan ‘biarlah’, yang biasanya berada pada bagian penutup khotbah yang bertujuan mengajak untuk melakukan seperti yang disampaikan dalam khotbah.

E.     Daftar Pustaka
Arsyad dan Mukti. 1993. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Bloomfield, Leonard. 1995. Language. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Darma, Yoce Aliah. 2009.  Analisis Wacana Kritis. Bandung : Yrama Widya.
Djajasudarma, Fatimah. 1994. Wacana : Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung : PT. Eresco.
Kridalaksana, H. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kushartanti, Yuwono & Lauder. 2009. Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, R.D. 1993. Pengkajian Puisi : Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika : Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Subagyo, A.P. & Macaryus, S. 2009. Peneroka Hakikat Bahasa :Karangan Muhibah untuk Sudaryanto. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.
Sudaryat, Yayat. 2008. Makna dalam Wacana : Prinsip-Prinsip Semantik dan Pragmatik. Bandung : Yrama Widya.
Sumarlam. 2009. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta : Pustaka Cakra.
Titscher, S., etc. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Unarto, Erich. 2011. Ajarku Bersyukur Manna Sorgawi Edisi Februari 2011. Jakarta : YPI Kawanan Kecil Divisi Renungan Harian.
Wahab, Abdul. 1995. Isu Linguistik : Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya : Airlangga University Press.






Lampiran

AJARKU BERSYUKUR
(1 Tesalonika 5:18)
“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”

Aku bersyukur untuk ruang makan yang kotor sesudah menjamu teman-temanku, karena itu berarti aku dikelilingi banyak orang yang mengasihiku. Aku bersyukur untuk pajak yang harus kubayar, karena itu berarti aku mempunyai penghasilan. Aku bersyukur untuk pakaian yang mulai sempit, karena itu berarti aku mempunyai makanan yang cukup. Aku bersyukur untuk halaman rumput yang harus dipangkas, jendela yang harus dibersihkan, dan selokan yang tersumbat, karena itu berarti aku memiliki rumah. Aku bersyukur untuk keringat yang bercucuran setelah berjalan cukup jauh, karena itu berarti aku masih mampu berjalan. Aku bersyukur untuk suara fals seseorang yang terdengar dengan jelas ketika sedang bernyanyi di gereja, karena itu berarti aku memiliki pendengaran yang baik. Aku bersyukur untuk alarm yang membangunkanku pada waktu subuh, karena berarti Tuhan masih memberikuku kehidupan. Aku bersyukur untuk otot yang pegal-pegal di sore hari setelah bekerja, karena itu berarti aku masih produktif.
Makna dari kalimat-kalimat di atas, yaitu : dibalik segala sesuatu yang kelihatannya tidak menyenangkan, selalu ada hal-hal baik yang patut disyukuri. Firman Tuhan mengajarkan kepada kita untuk bersyukur dalam segala hal. “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tesalonika 5:18). Ketika menghadapi keadaan yang tidak menyebangkan, orang selalu cenderung untuk mengeluh dan tidak puas. Bahkan tidak hanya sebatas mengeluh, ada juga yang mulai menyalahkan situasi, orang lain, atau Tuhan. Sekarang marilah kita mengubah kebiasaan itu dan menggantikannya dengan ucapan syukur. Tanpa disadari, kita selalu membiarkan diri kita untuk mengeluh tentang banyak hal. Pekerjaan menumpuk, cuaca, kelemahan sesama termasuk pasangan, uang yang tidak pernah cukup, makanan yang tidak sesuai selera, dll.
Sebenarnya, kebiasaan mengucap syukur akan membangun sesuatu yang positif dalam diri kita. Bersyukur membuat ktia bisa menghadapi situasi yang sulit dengan tenang, bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, membuat beban menjadi ringan, dan hati tidak kehilangan damai sejahtera. Amsal 17:22 berkata, “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” Kegembiraan lahir dari hati yang bisa mengucap syukur. Jika kita bersyukur, maka hati kita akan gembira.

Mulai saat ini, berusahalah menemukan alasan untuk mengucap syukur di balik keadaan yang sepertinya tidak menyenangkan. Ucapan syukur juga merupakan wujud ketaatan dan keyakinan kita kepada Tuhan yang mengontrol segala sesuatunya dalam hidup kita. Tuhan tidak akan membiarkan kita menjalani kesulitan seorang diri, Ia berjanji bahwa dalam segala hal Ia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Biarlah kita mulai mengembangkan kebiasaan untuk mengucap syukur dalam segala hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar